Jumat, 21 Desember 2012

Pena patah



Ada sosok putih digoda bayu
kertas tipis gelisah, ia
perawan ditawan waktu
dan, pena patah di jalan

kucari patahan ranting
dan menulis seadanya
di tanah kering...

barisan semut melintas
patahan mengulum senyum
kertas perawan tetap cantik
walau bukan ia hiasannya

dari kejauhan
kutatap wajah cantiknya
kumaknai senyumnya yang tertunda
kueja segala yang ada
di tubuhnya
dari balik rindu

pena patah
bukanlah akhir
untuk melepas segala

Kau seutuhnya



Aku tak tahu puisi macam mana lagi yang harus kutulis untukmu kar'na bagiku kau adalah puisi seutuhnya

Jumat, 14 Desember 2012

menepi bukanlah salam perpisahan



Rupanya kau tak menyimak
goresan aksara
yang kukirim kepadamu
aku hanya ingin menepi sejenak
bukan kata perpisahan
bukan...

lalu apa arti tawa riangmu
kalau tafsirmu atas sajakku
adalah salam perpisahan...

siapa yang ingin mengakhiri
kau...
tentu tidak
akupun...
tak ingin menyudahinya
masih ada mimpi
yang mesti kita rajut
mengisi buku harian kita
dengan pusi-puisi rindu...

biarkan aku menepi sejenak
agar bisa kutulis sajak
tentang rindu kita berdua

Rabu, 12 Desember 2012

Inilah Aku



Maaf, Aku adalah tubuh dari keinginanmu dengan bentuk yang belum sempurna.

SEBELUM MENYESAL DAN MERASA KEHILANGAN


"Kamu beruntung Ibumu masih ada di dunia, karena kamu masih berkesempatan untuk membahagiakannya. Jangan pernah menyakitinya, membuat kelopaknya basah air mata atau banjir duka lara oleh karena tingkah, ulah dan kata-kata yang menyakitkan dan tidak mengagungkannya."

Lalu katamu,

"Ibu seperti bidadari yang sayapnya memeluk sinar rembulan, memberi terang ketika hati kelam. Ibu menjadi payung disaat terik mentari menyengat kulit rambut hingga jemari dan telapak kaki. Ibu menjadi selendang sekaligus ayunan disaat jantung berdetak tak normal. Ibu menjadi peredam dikala petir dan guntur menembus dan meruang di lapisan rasa yang paling dalam.

Ibu, sering di pagi hari, kuambil nasi segenggam, kukepal dan kutaburi  sedikit garam, lalu kumakan sebelum melakukan perjalanan. 'Nasi penuh karsa, harapan dan doa', begitu selalu Ibu katakan padaku dahulu. Rasa nasi sarat cinta dan kasihmu itu telah mengakar dan tumbuh berkembang di jiwaku hingga sekarang. Betapa Ibu telah dengan sederhana mengajariku cara paling indah mensyukuri segala nikmat dan karunia dari Tuhan yang maha segala.

Rasanya selalu ada Ibu di setiap langkah kakiku. Bayang dan gambar tatapan teduh Ibu kerapkali melukis air mata paling puisi di pipi. Senyum Ibu adalah hakekat kearifan yang begitu pesona dan mendamaikan, menjawab kenisbian dan kefanaan kehidupan.

Ibu, meski berpuluh kali doa kupanjatkan untukmu setiap hari, rasanya belum cukup bagiku untuk bisa menghapus rasa sesalku karena telah sempat tak memperhatikanmu dahulu.

Dengan doaku, ingin kupastikan bahwa Ibu berada di Surga, tersenyum melihatku dari jendela."







"Seorang Ibu bisa menjaga hati tujuh bahkan lebih anaknya, akan tetapi tujuh bahkan lebih anak belum tentu bisa menjaga hati seorang Ibu."

Hujan Kali Ini Bukan Hujan Kemarin


Hujan kali ini bukan hujan kemarin
Begitu mendung
Turun dari luka sumur menganga
yang tak pernah kita timba

Hujan kali ini mengalir
Dari pipi pipi tirus tak berisi
Membanjiri got got nestapa
yang tersumbat hitamnya hitam manusia

Hujan kali ini bukan banjir kemarin
Busa liur dan ludah
Tumpah ke jalan jalan raya
Memasuki  menara menara dan istana

Hujan kali ini begitu banjir
Menenggelamkan  percakapan
di antara harum tawa deal deal
di atas meja meja bertaplak bersih putih
dan dasi kupu kupu putih
dan jambangan tulip putih

dan hitam
tikus got mampir mengucap salam
kita sudah lama berteman
sudah sebangsa teman